Rabu, 06 November 2013

Liputan Khusus Fashion Stylist

Dewi Utari, Sarjana Ekonomi yang Memilih JalaniPassion Sebagai Fashion Stylist


img
Dok. Instagram Dewi Utari
Jakarta - Bekerja berdasarkan passion tentunya jadi lebih menyenangkan untuk dilakukan. Tak jarang, banyak pula orang-orang yang memilih menjalani profesi di luar jalur pendidikannya. Salah satunya adalah Dewi Utari, seorang fashion stylist dan juga pebisnis, yang memiliki latar pendidikan di bidang ekonomi. Memiliki latar pendidikan Sarjana Ekonomi dan Magister Bisnis Internasional, Dewi tak memilih jadi akuntan, atau auditor sebagai jalan hidupnya. Ia lebih tertarik masuk dalam dunia fashion yang sudah digemarinya sedari kuliah.

"Awalnya sayang banget, tapi ya gitu, mamaku kan orangnya konvensional banget, jadi 'kamu sekolah saja tapi saya nggak mau sekolahin kamu desain, kalau mau kamu sekolah ekonomi', kalau nggak ya bayar sendiri. Ya aku waktu itu kan belum bisa bayar apa-apa ya jadi aku sekolah ekonomi," ungkap Dewi Utari saat berbincang dengan Wolipop di Starbucks, Grand Indonesia, Rabu (30/10/2013).

'Yang aku percaya adalah kalaupun kita niat, kita ingin dan kita mau susah, pasti dapat!' Itulah kata-kata Dewi Utari tentang pilihannya sebagai seorang stylist kini. Meski tak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang fashion, tapi Dewi mencoba terjun ke dunia majalah, bahkan sebelum ia lulus kuliah. Dewi sempat magang dan menjadi kontributor fashion selama dua tahun di majalah remaja, pada tahun 2003-2005. Setelah lulus kuliah, Dewi Utari banyak mengirim aplikasi kerja di berbagai perusahaan. Dari mulai bidang ekonomi, perbankan, dan tentunya majalah.

Singkat cerita, iapun diterima bekerja sebagai asisten fashion stylist di majalah fashion ternama di Indonesia di tahun 2005. Semua pekerjaan stylist ia lakukan, dari mulai meminjam baju dan properti foto, laundry, pengembalian, hingga saat produksi berlangsung.

"Ibaratnya pekerjaan 'kuli' aku lakukan. Jadi kalau orang-orang bilang pekerjaan stylist itu glamour, the truly stylist is not. Jadi seorang stylist itu bener-bener berat menurut aku, banyak keluh kesahnya. Kita juga harus tanggung jawab sama semua barang yang kita pinjam," tutur ibu satu anak ini.

3,5 tahun bekerja sebagai asisten stylist bersama sang mentor, Michael Pondaag, Dewi mendapat banyak pengalaman yang membentuknya sebagai wanita berkarakter kuat seperti sekarang. Iapun sudah terbiasa mandiri dengan profesinya sebagai stylist dan fashion editor saat itu. Setelah menghabiskan 7 tahun lebih hidupnya di majalah yang membesarkan namanya tersebut, wanita yang hobi mengoleksi sepatu hingga ratusan itu memutuskan untuk resign dan menjadi freelance stylist hingga sekarang.
Mengejar impiannya menjadi seorang fashion stylist telah membawa Dewi memasuki dunia mode yang lebih dalam lagi. Ia juga pernah diundang menjadi front row di Paris dan Milan Fashion Week.

Meskipun tidak bekerja di bidang ekonomi, namun menurut Dewi tidak ada ilmu yang terbuang percuma. Apapun yang dilakukan dengan niat yang besar, pasti ada jalannya.

"Waktu di ekonomi aku belajarlah hitung-hitungan, marketing segala macam. Nah, itu berguna bagi aku sekarang seorang freelance. Aku kan belum punya manager, jadi sekarang kalau aku punya masalah deal-deal-anuntuk masalah nominal, aku bisa ngurusin, kayak marketing aku bisa ngurusin karena udah punya kemampuan itu. Apalagi sekarang aku punya toko kue juga kan, jadi terpakai juga, intinya bagaimanapun orangtua selalu benar, walaupun awalnya aku kayak benci gitu kan 'kenapa sih aku nggak boleh' cuma ternyata itu ada gunanya juga," tutup wanita kelahiran 1983 itu.

Koleksi Sepatu Terbaru dari Tod's dengan Gaya Klasik

Alissa Safiera - wolipop


img
Dok. Tod's
Jakarta - Label sepatu asal Italia, Tod's kembali menyuguhkan koleksi fall/winter 2014 terbaru, dengan gaya klasik khas Tod's. Kali ini, kampanye dari koleksi yang dinamakan No_Code itu juga menggabungkan visi dari editor majalah asal London, Jefferson Hack.

Koleksi fall/winter 2014 yang dinamakan 'Colour Theory' itu juga menggandeng fotografer fashion berbasis di Los Angeles, Sam Falls untuk berkolaborasi. Dari tampilan kampanye yang telah rilis, tampak koleksi No_Code itu merupakan gabungan dari pengaruh dunia musik kontemporer, seni dan juga film.

"Untuk citra musim ini, seniman Sam Falls menggunakan teknik yang menggabungkan analog dengan digital - lukisan di atas foto, dan manipulasi proses alami dalam pasca-produksi ini. Sinergi antara sesuatu yang lama dan baru adalah analogi dari apa yang aku lakukan dengan Tod's No_Code. Bekerja dengan warisan sejarah dan label 'Made in Italy' yang telah dibawa brand ini sampai ke abad 21," ujar Jefferson Hack.

Koleksi ini menyuguhkan lima jenis sepatu pria, dan empat koleksi sepatu wanita. Sepatu terbaru ini terdiri atas sepatu Oxford, desert boot, Chelsea boot, dan yang terbaru adalah sepatu buckle-strap. Seluruh sepatu bergaya klasik tersebut didesain dengan kulit berkualitas, dan bahan beludru yang halus. Bagian sol yang terbuat dari karet juga didesain dengan inovasi unik, dan teknik mikro, sehingga sepatu jadi sangat ringan dan fungsional.

Koleksi No_Code ini sudah tersedia di gerai Tod's seluruh dunia. Koleksi ini juga bisa didapat secara online di situs resmi Tod's, Net a Porter, ataupun My Theresa.